Pendidikan Agama dan Multikulturalisme
Belakangan
ini isu kekerasan keagamaan masih saja menghantui kehidupan berbangsa dan
bernegara, terutama melalui aksi pemaksaan kehendak untuk diikuti kelompok lain
di luarnya. Kenyataan tersebut jelas terlihat dalam aksi anarkis beberapa Ormas
keagamaan semacam Front Pembela Islam (FPI) di berbagai daerah dalam memaksakan
kebenarannya.
Tindakan kekerasan dengan dalih penertiban
merupakan kausalitas dari posisi negara yang tidak mampu memerankan posisi
strategis. Hubungan tersebut adalah ketidakmampuan dalam menjamin kesejahteraan
ekonomi masyarakat, tidak profesionalnya aparat penegak hukum dengan sikap yanglembek,
dan pemahaman doktrin keagamaan yang mendasarkan pada teks tanpa semangat
mengintegrasikan dengan dunia realitas yang plural sekaligus berintegrasi
dengan globalisasi.
Dalam
pendidikan selama ini, peserta didik dan pendidik sama sekali tidak memiliki
kesempatan dan ruang ekspresi kebebasan dalam menempa jati diri masa depan.
Kedua subjek pendidikan itu dipaksa menjadi robot untuk menghafal segala rumus
bahkan menghafal semua materi pelajaran yang diujikan, termasuk teks-teks kitab
rujukan pembelajaran. Mulai dari sekolah tingkat terendah sampai menengah atas,
semangat berfikir pragmatis dan instan serta sekadar menghafal tanpa ada ruang
menganalisis, menjelma menjadi budaya belajar generasi saat ini.
Konsekuensinya,
pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran yang menjadikan peserta didik aktif mengembangkan
potensi diri, baik potensi keagamaan, emosi, moral, dan kreativitas, menjadi
gagal. Satu kunci dalam problem pendidikan semacam ini adalah karena ketiadaan
aspek pembebasan dalam ruang belajar, atau tiadanya dimensi kemanusiaan dalam
pendidikan.
Persoalan
pendidikan semacam itu berlanjut dengan tumbuhnya generasi yang tidak memiliki
nilai-nilai dasar seperti keteguhan dalam berprinsip, solidaritas sosial, dan
toleran terhadap perbedaan, karena semua diseragamkan dalam satuan sistem,
yaitu eksakta lulus dan tidak lulus, pintar dan bodoh, atau bermutu dan tidak
bermutu. Segala hasil dari proses pendidikan hanya diukur berdasarkan skala
kuantitatif dan hafalan.
Kecenderungan
pola pendidikan itu berimplementasi pada model pergaulan peserta didik yang memasung
sekat sosial masing-masing. Komunitas pandai akan bersama dengan orang-orang
yang pandai, begitupun peserta didik yang kurang kemampuan intelektualnya akan
disisihkan bersama orang-orang yang bodoh lainnya dengan dalih agar lebih mudah
dikembangkan tingkat prestasi akademiknya. Dampak psikologis dari pilihan
semacam itu adalah anak-anak yang mendendam untuk meruntuhkan sekat sosial yang
sengaja memarginalkannya.
Tidak
heran, jika produk komunitas terpinggirkan itu akan senantiasa menghiasi forum
tawuran pelajar, pemaksaan kehendak, dan penyimpangan sistem sosial lain. Bagi
kalangan ini, pendidikan menjelma menjadi media kekecewaan dan arena kesadaran
sosial kolektif tentang ketidakadilan yang telah mengekangnya, dan secara tidak
langsung tidak menghargai keberadaannya. Ada satu hal yang kiranya sama-sama
memiliki andil besar atas terjadinya peristiwa tragis tersebut, yaitu
dikembangkannya tradisi pendidikan berupa pendoktrinan materi dan pewarisan
budaya, tanpa adanya semangat pembebasan untuk merespon alternatif pemecahan
atas problem sosial yang ada.
Kondisi demikian, juga harus terjadi dalam
institusi pendidikan Islam, baik di lokalitas Indonesia maupun secara global di
kawasan lainnya. Dalam menghadapi perkembangan zaman, eksistensi pendidikan Islam
justru dimanfaatkan untuk menjaga normativitas keagamaan. Pendidikan Islam
masih terjebak dengan pola-pola konvensional ala Ta’limul Muta’allim karangan
az Zarnuji.
Peserta
didik dipaksa tunduk dalam pasungan kebenaran tunggal dari pendidik. Pola ini
melahirkan model kepandaian “menimbun fakta-fakta” dengan menghafalkannya,
tanpa sedikitpun diberikan ruang menganalisis atau sekadar merelasikan dengan
problem sosial. Akibatnya, stagnansi pemikiran menjurus pada terbangunnya
kebenaran secara turun temurun tanpa memiliki ikatan kesesuaian dengan
perkembangan zaman. Hanya ada satu jawaban kebenaran sebagaimana diajarkan guru
dan yang sesuai dengan kelompoknya sendiri sehingga berhak menyesatkan kelompok
lain. Pada akhirnya bangunan keberagamaan berupa teologi menjadi problem
tradisi di masyarakat.
Oleh
karenanya, masyarakat tidak mampu berproduksi optimal dalam menghadirkan
perubahan dan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan tantangan zaman, karena
adanya hegemoni kebenaran dan klaim sepihak sebagai perusak kemurnian agama
atau sekularis, manakala berupaya mengintegrasikan antara agama dan ilmu
pengetahuan, atau sekadar mempelajari kebenaran di luar kebenaran yang
diyakininya.
Inilah
pentingnya memahami paradigma berfikir yang mampu menghargai perbedaan dan dapat
dijadikan mitra kerjasama ataupun unsur yang dapat dipersatukan dalam wujud
multikulturalisme. Apakah multikulturalisme ada riwayat sejarahnya di masa
silam? Bagaimana pendidikan agama mampu merespon beragam perbedaan pemikiran
dan tampilan keberagamaan melalui paradigma multikulturalisme?
Menakar Multikulturalisme Dalam Pendidikan Agama?
Tak sulit
membayangkan betapa rawannya Indonesia dengan konflik sosial karena beragamnya
budaya, suku, bahasa, dan juga agama yang berada di sekitar 17.500 buah pulau dalam
3.200 mil lautan. Bangsa Indonesia kini berjumlah lebih dari 200 juta,
mayoritas beragama Islam, dengan pengakuan empat agama lain di luar Islam
secara formal.
Agama
Hindu sebagian besar berada di Bali dan di ujung timur pulau Jawa seperti
Tengger. Katholik kebanyakan bermukim di Nusa Tenggara Timur terutama pulau
Flores, kepulauan Kei di Maluku dan Jawa bagian Tengah. Protestan cenderung
menyebar di Papua, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Maluku Tengah, dan Maluku
bagian tenggara. Sedangkan Kong Hu cu yang biasa dianut oleh etnis China,
menetap di kota-kota besar termasuk juga pedalaman.
Demikian
juga dalam variasi suku dan ras. Suku Jawa menjadi etnis mayoritas dengan
bahasa Jawa. Suku Sunda dengan bahasa Sunda, suku Madura dengan bahasa Madura,
suku Melayu dengan bahasa Melayu, termasuk suku kelompok kecil semacam suku
Bali, Batak, Minang, Aceh, Dayak, Banjar, Papua, Bugis, Makasar, Badui, dan
Toraja.
Dari realita di atas, terbukti bahwa keberbedaan (diversity)
dalam kehidupan merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Pada saat
ini, paling tidak telah terjadi pertikaian di hampir seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang bersimbolkan aneka perbedaan. Ironisnya,
konflik yang disulut adanya pertentangan agama atau ideologi pemikiran
keberagamaan yang masih mendominasi.
Mengembangkan
paradigma multikulturalisme melalui dunia pendidikan di era sekarang ini,
adalah mutlak segera “dilakukan” terutama atas pendidikan agama di Indonesia
demi kedamaian sejati. Pendidikan agama perlu segera menampilkan ajaran agama
yang toleran melalui kurikulum pendidikan dengan tujuan menitikberatkan pada
pemahaman dan upaya untuk bisa hidup dalam konteks perbedaan agama dan budaya,
baik secara individual maupun secara kolompok dan tidak terjebak pada
primordialisme dan eklusifisme kelompok agama dan budaya yang sempit.
Pendidikan
memiliki peran strategis untuk membangun serta mengembalikan cara berpikir dan
sikap peserta didik ke dalam tataran yang mengerti kemajemukan bermasyarakat.
Pendidikan yang diselenggarakan haruslah pendidikan yang empati dan simpati
terhadap problem kemanusiaan seperti penindasan, kemiskinan, pembantaian, dan
sebagainya. Pendidikan agama yang berlangsung bukan sekadar penanaman wacana
melalui proses indoktrinasi otak, tetapi melatih terampil beragama dan kesiapan
menghadapi masalah konkret dalam masyarakat berupa perbedaan.
Pendidikan agama an sich semacam fiqih, tafsir tidak
harus bersifat tunggal, namun menggunakan pendekatan lainnya. Ini menjadi
sangat penting, karena anak akan senantiasa memiliki pilihan sikap yang jelas
atas dua pilihan yang berbeda, dan perbedaan yang ada tentu membutuhkan alasan
perbedaannya. Misalnya tentang alas an cara wudhu yang berbeda, atau bisa juga
tentang cara membaca satu kata tafsir namun memiliki makna yang banyak.
Untuk
mengembangkan kecerdasan sosial berupa proses interaksi sosial, siswa juga
harus diberikan materi pengenalan lintas agama atau ideologi tertentu. Hal ini
dapat dilakukan dengan program dialog antar agama yang perlu diselenggarakan
oleh lembaga pendidikan Islam. Sebagai contoh, tentang “puasa” yang ternyata
juga dilakukan oleh pemeluk agama lain, seperti para bikhsu atau agamawan lain.
Program ini menjadi sangat strategis, khususnya untuk memberikan pemahaman
kepada siswa bahwa puasa ternyata juga menjadi ritual agama lain. Dengan
sendirinya akan berkembang pemahaman bahwa “di luar Islampun ada keselamatan”.
Dalam
upaya memahami realitas perbedaan dalam beragama, lembaga-lembaga pendidikan
Islam bisa juga menanamkan kepedulian komunitas agama lain dengan saling
bekerjasama membersihkan tempat keagamaan, wihara ataupun tempat suci lainnya.
Kesadaran multikulturalisme bukan sekadar memahami keberbedaan, namun juga
harus ditunjukkan dengan sikap konkrit bahwa sekalipun berbeda keyakinan, namun
sama-sama sebagai manusia yang mesti diperlakukan secara manusiawi. Hal ini
seperti melatih peserta didik untuk bisa berbagi dengan orang terdekatnya.